Minggu, 25 Mei 2014

ROTI ATAU TAI ???

Selamat, atas kelulusan yang sudah diraih oleh adik-adik kelas VII SMP dan kelas XII SMK/SMA. Selamat juga untuk adik-adik yang diberikan rezeki dalam bentuk yang lainnya yakni berupa ketidak-lulusan. Kenapa seperti itu? Karena lulus ujian nasional bukanlah tolak ukur bagi kesuksesan kehidupan di dunia apalagi kesuksesan kehidupan di akhirat. Tolong jangan senang dan berbangga dulu dengan sebuah kelulusan. Karena pada dasarnya, yang lulus bukan berarti dia lulus dalam kelulusannya. Begitu juga sebaliknya, yang tidak lulus belum tentu tidak lulus dalam ketidak-lulusannya. Contohnya, Apa kalau sudah mendapat nilai Bahasa Inggris 10,00 lalu dia akan handal berbahasa inggris? Tidak, padahal nilai B.Inggris 10,00 sudah jamak terjadi dalam hasil UN kali ini. Itu menandakan bahwa sebenarnya dia tidak lulus. Padahal seumpama memang benar tidak lulus, itu juga bukan merupakan sebuah kehinaan. Anda bisa-bisa saja lulus dalam kehidupan ini tanpa harus lulus Ujian Nasional. Karena anta faizun lihayatika, kamu adalah juara dalam kehidupanmu sendiri. Lebih baik kalah terhormat daripada menang atau lulus tapi tidak bermartabat. Jangan terburu-buru dulu bangga akan kelulusan dan kemenangan, apalagi jika kelulusan dan kemenangan itu hanyalah sebuah hasil rekayasa. Rekayasa mulai tingkat Sekolah, Rayon, Kabupaten/Kota sampai rekayasa Nasional. Hal ini mulai terbuka dan terbukti pada tahun 2014 ini, ada sebuah rekayasa besar di kabupaten lamongan, dimana melibatkan puluhan guru dan kepala sekolah. Kasus inipun menjadi sorotan nasional, bukan berarti kasus itu berhenti di situ. Ditingkat atas seperti tingkat provinsi dan nasional pasti juga terjadi hal yang sama, hanya saja belum terbongkar dan terbukti. Jika sudah seperti itu, masih banggakah dengan sebuah arti kelulusan UN? Dalam sebuah analogi, ketika orang dalam keadaan kesusahan dan kelaparan sehingga tidak memiliki kemampuan untuk memakan apa-apa maka muncullah insting untuk dapat bertahan hidup yakni dengan memakan apa yang ada disekitarnya termasuk Tai-nya sendiri. Memang pada awalnya akan terasa menjijikkan, tidak enak, dan tidak bisa dibayangkan rasanya. Akan tetapi kalau tai itu terus dimakan setiap harinya, tai itu tidak ada pembanding makanan lainnya, tai itu dimakan dalam kurun waktu yang lama. Maka suatu saat tubuh akan terus beradaptasi hingga sampai pada evolusi sehingga tubuh menganggap tai itu adalah makanan pokoknya. Ketika ditawari makanan lain seperti roti misalnya, yang ada adalah penolakan dalam tubuh. Lidah dan indra perasa akan tidak suka dengan roti, roti dianggap menjijikkan, tidak menyehatkan, rasanya tidak enak dan roti akhirnya dianggap sebagai tai. Ketika disuruh memilih roti atau tai maka dengan lantang dan tegas pilihan jatuh pada TAI. Begitu juga dengan Ujian Nasional beserta sistemnya saat ini, tai yang sudah diolah sedemikian rupa karena memang tidak ada makanan yang lainnya, tai itu direkayasa dengan maksimal agar timbul aroma dan rasa yang seperti roti, sehingga kita akhirnya mampu mengamini bahwa tai itu adalah roti. Di dunia ini memang antara gelap dan terang terjadi silih berganti, oleh karena itu setiap manusia pasti berisi terang dan gelap. Ada sebuah ungkapan, “Kebathilan itu salah satu tentaranya kebenaran.” Cahaya justru akan muncul pada sebuah kegelapan. Walaupun orang Indonesia saat ini sudah lupa dan tidak tahu bahkan tidak mampu lagi membedakan mana roti dan mana tai karena saat ini orang Indonesia sudah sangat mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dimana rasa tai bisa dijadikan roti. Kita tidak akan mampu lagi bangkit dari semua ini sampai kita mempunyai ilmu yang benar dan tepat mengenai mana ROTI dan mana TAI sehingga harapan bahwa Cahaya akan muncul pada sebuah kegelapan masih ada dan akan terus ada. () Ditulis Oleh: Abdul Rozaq. Gresik, 24 Mei 2014 Disarikan dari Padhang mBulan Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar